Nella N. Saputri
Mungkin pernah ada, mata seorang gadis
yang tertuju pada sesosok pria yang bekerja keras di sebuah lubang tambang.
Gadis itu merupakan anak tunggal dari bangsawan daerah Sawahlunto yang menjadi kaki
tangan opsir Belanda. Semenjak penambangan di daerah itu dibuka, gadis itu
kerap kali menemani ayahnya ke tempat penambangan itu. Hingga gadis itu
tertarik pada seorang pekerja tambang batubara tersebut. Gadis bernama Ningsih
itu telah terpikat oleh pesona pria yang selalu diperhatikannya di tambang batu
bara yang baru mulai dirintis di daerah lembah segar dan memiliki nilai budaya
tersendiri. Di tempat itu, terdapat beragam orang dari suku budaya yang berbeda.
Karena masing-masing orang rantai yang bekerja di lubang tambang itu, berasal
dari berbagai daerah di Indonesia. Keseharian Ningsih hanya menemani ayahnya ke
tempat penambangan, menatap lelaki itu dan pulang tanpa sempat berbicara
sepatah kata pun pada pujuaan hatinya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan
Ningsih, sehingga mambuatnya malu untuk memulai bercakap-cakap dengan pria yang
dicintainya. Dia cantik, bahkan sangat cantik. Bisa dikatakan bahwa Ningsih
adalah gadis yang paling cantik di Swahlunto pada masa itu. Namun, yang menjadi
kendala adalah posisinya sebagai anak seorang bangsawan. Dia takut kalau-kalau
pria yang dicintainya itu diperlakukan buruk oleh ayahnya, setelah ayahnya tahu
bahwa dia dan pria itu memiliki kedekatan tersendiri. Tetapi cinta Ningsih
telah mencapai puncaknya, dengan memberanikan diri Ningsih mencoba menyapa pria
itu untuk pertama kalinya.
“Assalamualaikum saudara.” Sapa
Ningsih siang itu.
“Ya, selamat siang” Jawab si pria.
“Mengapa saudara malah tidak
menjawab salam saya?” Ningsih merasa heran dengan jawaban pria itu.
“ Maaf, saya nonmuslim” Ujuar lelaki
itu kemudia tersenyum.
“oh, tidak apa-apa, saya Ningsih,” Ujar
Ningsih memperkenalkan dirinya.
“Ya, saya tahu. Siapa yang tidak
tahu dengan anda. Anda anak seorang bangsawan, dan gadis yang paling cantik di
daerah ini. Beruntung rasana saya dapat mengenal anda.” Ujar pria itu
menyanjung Ningsih dengan logat jawanya.
Ningsih terpaksa mengakhiri
percakapannya kerena ayahnya sudah hendak pulang. Namun Ningsih setidaknya
sudah tahu, pria itu bernama Raden. Kisah cinta mempesona yang diharapkan Ningsih tidak akan pernah
terjadi. Ayahnya mengetahui kedekatannya dengan Raden. Hingga suatu malam di
dalam lubang tambang yang menjadi saksi cinta Ningsih, juga harus menjadi saksi
bisu kehancuran hidup Nungsih.
“Akan ku bunuh koe binatang.” Tukas
ayah Ningsih dengan suara yang murka.
Ningsih hanya bisa terus menangis
dengan tubuh yang tidak berdaya karena ditahan dua opsir Belanda yang perkasa.
“Sampean kira sampean pantas trisno
karok anakku, sampeam tu mbok yo nyadar, sampean ndak lebih dari anjing
kompeni.” Itulah kalimat terakhir yang didegar Ningsih dari ayahnya, hingga
kemudian sebuah peluru opsir Belanda mendarat di mata Raden. Raden tewas
seketika, sedangkan Ningsih hanya bisa menangis, karena tidak mampu berbuat apa-apa
selain memandangi mayat Raden yang dibuang ke dalam sebuah lorong di lubang
itu.
Semenjak kejadian itu, Ningsih
menghilang. Tidak ada seorang pun yang tahu kemana dirinya. Ningsih lenyap dari
daerah itu, semenjak kematian orang yang dicintainya, akhir desember 1898.
Indonesia merdeka pada 17 Agustus
1945. Tidak ada lagi orang rantai yang dipaksa untuk menggali lubang tambang.
Meski banyak yang pada akhirnya, menjadikan kegiatan penambangan batubara dan
gas alam itu sebagai ladang pencarian nafkah, tetapi setidaknya mereka tidak
lagi hidup macam binatang.
Kalender telah menunjukan tahun
1992, kota Sawahlunto yang dulunya merupakan tempat pembuangan pemberontak di
Batavia (Jakarta) dan dijadikan penammbang batubara, sekarang telah mulai
merintis hidup segagai kota tambang yang layak untuk masyarakatnya. Di dalam
sebuah bus kota menuju Sawahlunto dari rute Padang, seorang gadis cantik
kira-kira berusia 18 tahun, sedang asik membaca buku di kursi paling pojok bus
itu. Sesekali matanya tertuju pada seorang pengamen yang tengah asik bernyanyi.
Sekejap mata, pintu bus itu terbuka. Pengamen yang sedang bersandar ke pintu
itu terjatuh. Tubuhnya terhempas ke jalan raya yang cukup ramai, tertabrak
mobil-mobil lain yang ada di belakang bus, hingga akhirnya terlempar ke pinggir
jalan. Perjalanan ke kota Sawahlunto
tertunda, semua orang mengerumni mayat pengamen yang malang. Semua terkejut
dengan keanehan di depan matanya. Tubuh yang hancur itu tidak ada darah sedikit
pun, benar-benar aneh. Sedangkan pusat kota sawahlunto masih 7 km dari tempat
kecelakaan itu.
Sungguh sangat aneh, wajah gadis tu
semakin cantik setelah keelakaan tadi. Bahkan yang lebih anehnya, dalam
hitungan detik, dia sudah berada di pusat kota Sawahlunto, yang dikelilingi
bukit yang tinggi, kemudian berada di depan Lubang Tambang Basuro yang telah
ditutup dengan beton karena tidak lagi dioperasikan untuk kegiatan penambangan
batubara seperti tahun 1898 ketika dia masih di Sawahlunto dahulu.
Dialah Ningsih, yang dulu pernah
pergi dari kota ini setelah kematian kekasihnya dan kini kembali untuk
mengenang cintanya. Setiap pagi, Ningsih hadir di depan lubang tambang itu dan
menghilang ketika malam hari. Tidak ada yang peduli pada kagiatannya, semua
orang hanya terpesona pada kecantikanya. Ningsih hanya diam membisu, tanpa
memperdulikan orang-orang yang terpukau olehnya.
“Selamat siang?” Sebuah suara
menegur dari arah belakangnya ketika dia sedang bisu memandangi lubang itu.
Ningsih menoleh kebelakang dengan
senyumannya yang menawan. Pria itu balas tersenyum pada Ningsih.
“Kamu tampak sangat tertarik dengan
lubang tambang itu.” Lelaki itu memulai percakapan.
“Ia, saya sangat tertarik pada
lubang ini. Lubang ini memiliki nilai sejarah tersendiri, tentunya pernah ada
cerita cinta di dalamnya.” Tukas Ningsih lembut.
“Ya, mungkin saja,” Pria itu
tersenyum “Tidak ada yang tahu jalan hidup yang ditakdirkan Tuhan.” Ujar pria
itu.
Ningsih baru menyadari, pria itu
sangat mirip denga Raden. Kemiripan itu semakin jelas, ketika Ningsih melihat sebuah
kalung salip di lehernya. Kalung itu mirip kalung Raden. Ini artinya, Ningsih
telah menemukan titisan Raden, dan Ningsih tidak akan pernah melepaskan pria
itu. Pria itu baginya adalah jelmaan Raden. Jelmaan pria yang terus dicintainya
hingga saat ini.
Ningsih mulai dekat dengan pria itu,
yang akhirnya diketahui bernama Reno. Namun, sebenarnya Reno telah memiliki
kekasih, kekasih yang tidak akan pernah dibiarkan hidup oleh Ningsih.
“Eh, ke tu jangan keganjenan ya.
Reno tu milik aku.” Tukas kekasih Reno dengan nada yang penuh amarah.
“Apa peduli saya, saya rasa dia
lebih cocok dengan saya.” Ujar Ningsih seraya membelakangi kekasih Reno yang
ternama Lia.
“Dasar wanita hina. Ke hadir di
sini, cuma buat merusak hubungan orang. Apa ndak ada yang lain yang bikin ati
ke kepincet,” Bentak Lia dalam logat bahasa Sawahlunto.
Lubang tambang itu kembali mendi
saksi bisu pertengakaran dua gadis yang sesungguhnya berbeda generasi itu.
“Saya sudah lama menunggu masa-masa
ini. Masa bersatu dengan kang mas Raden.” Ujar Nigsih datar.
“Tapi dia ndak Raden ke, dia Reno
aku. Lagian siapa Raden yang ke sebut-sebut itu?” Tukas Lia dengan keheranan.
“Raden adalah lelaki yang saya
cintai semenjak tahun 1898 sampai
sekarang. Sejak awal lubang tambang ini digali. Kamu tidak mengerti, Reno
adalah jelmaan Raden, itu artinya dia milikiku.” Tukas Ningsih dengan amarah
dan di sauti kilatan halilintar malam itu.
Suasana menjadi mencekamkan. Lia
tidak mengerti siapa yang berada di hadapannya dekarang. Dengan penuh
kemurkaan, Ningsih mencekik Lia, membenturkan kepala Lia ke dinding lubang tambang itu. Membelah tubuh
Lia menjadi bagian-bagian kecil. Namun, keanehan lagi yang ada pada diri
Ningsih, setiap orang yang mati di dekatnya, mati tanpa darah setetespun.
Ningsih tertawa puas melihat mayat
perempuan yang menjadi musuh dalam cerita cintanya.
“Kamu tahu, andai dulu saya mampu,
akan saya buat ayah dan opsir Belanda yang membuh Raden, menjadi kepingan
daging cincang spertimu.” Setelah berkata demikian, Ningsih meremas bagian mata
Lia yang digenggamnya.
“Setan!”
Sebuah hardikan mengejutkan Ningsih
dari arah belakangnya. Dengan tegas Ningsih menoleh ke belakang. Matanya membelalak
ketika dilihatnya sosok Reno telah berdiri di hadapannya.
“Reno, tidak seharusnya kamu di sini
sayang. Seharusnya kamu menunggu saya di rumah. Dan kita menjalani bahtera
rumahtangga dengan bahagia dan nyaman. Tanpa ada lagi yang memisahkan kita.”
Ujar Ningsih seolah tanpa rasa bersalah.
“Kau apakan gadis yang ku cintai, kau
apakan dia. Aku hanya menganggap kau sebagai teman. Tidak lebih!” Ujar Reno
dengan air mata di pipinya.
“Siapa Raden, apa hungannya dengan aku, dan
seharusnya kau sudah mati. Sudah terlalu lama kau hidup, kau setan!” Ujar Reno dengan
suara bergetar. Reno terus berjalan mundur ketika Ningsih terus berjalan
mendekatinya.
“Berhenti” Pekikan Reno memekak kan
lubang itu.
“Raden, ini saya. Saya Ningsih, kamu
lupa? Kita kekasih. saya mencintaimu dari pertama bertemu, hingga hari ini. Kau
pun begitukan sayang?” Ningsih terus mendekati Reno.
“Tidak, aku bukan Reden mu. Ini
bukan masa mu, kenapa kamu masih hidup dan merajalela sbagai gadis? Kenapa kau
tidak menjadi tua, atau apalah.” Setelah berujar demikian Reno terjatuh karena
tersandung batu.
Ningsih tiba-tiba berhenti “Saya
memakai susuk, ini untuk keabadian kecantikan saya. Demi kamu juga Raden. Agar
kamu dapat melihat saya disini, karenna sudah lama saya yakin, Tuhan kamu dan
Tuhan saya akan menciptakan titisanmu.” Kemudian Ningsih tersenyum.
Senyuman Ningsih menambah ketakutan
di hati Reno. Reno berusaha berlari, namun kakinya seperti tertahan setuatu.
“Meski saya haru berselubung dalam
kekuatan ilmu hitam, yang mengharuskan saya menghisap darah setiap korban, semuanya untuk kekuatan dan keawetan saya, itu
tidak masalah bagi saya Raden, sekarang saya telah bertemu kamu.” Tawa ningsih
menggema di dalam lubang itu.
Tiba-tiba, sebuah angin kencang menerpa
mereka. Sesosok bayang putih berada di hadapan mereka. Sosok itu sangat mirip
dengan Raden. Ningsih hanya diam melihat bayangan itu.
“Ningsih gadisku, akulah Raden. Dia
bukan siapa-siapa dalam diriku. Dia tidak ada hubungannya dengan cinta kita.
Dan aku tidak sanggup melihat kamu terus membunuh demi keawetanmu Ningsih. Ikutlah
bersamaku” ujar bayang putih itu.
Ningsih tiba-tiba meraung. Serupa
raungan ketika Reden ditembak beberapa puluh tahun yang lalu. Berkali-kali
Ningsih menusuk tubuhnya, hamburan darah hitam mengalir di lantai terowongan
itu. Darah setiap orang yang telah mati karenanya. Dia mencongkel matanya sendiri,
dan memberikan pada Reno
“ Ini menganti mata kekasihmu yang telah
hancur tadi” Ujar ningsih dengan senyuman di bibirnya “ Saya telah menemukan
kekasih saya lagi. Kamu boleh pergi Reno.”
Reno mengibaskan tangan Ningsih yang
menggenggam matanya sendiri. Reno berlari ke luar sumampunya. Hingga akhirnya
Reno sampai di mulut lubang tambang itu. Dari arah luar Reno mendengar tawa
sepasang kekasih yang akhirnyanya bersatu, tiba-tiba gerbang lubang tambang itu
kembali tertutup beton, karena memang sebenarnya lubang itu telah ditutup beton
semenjak tahun 1932. Namun dengan kekuatannya, Ningsih kembali terbuka untuk
kejadian malam itu.
Reno kembali ke rumahnya, setengah
jiwanya telah rusak karena kejadian yang diluar logikanya. Bagaimana mungkin
ada orang yang hidup muda selama puluhan tahun. Reno memang selamat, namun dia
telah gila. Dia tidak tahu harus mengatakan apa pada semua orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar