Rabu, 18 Maret 2015

Tragedi 1898: Gadis Cantik Penghisap Darah



Nella N. Saputri
            Mungkin pernah ada, mata seorang gadis yang tertuju pada sesosok pria yang bekerja keras di sebuah lubang tambang. Gadis itu merupakan anak tunggal dari  bangsawan daerah Sawahlunto yang menjadi kaki tangan opsir Belanda. Semenjak penambangan di daerah itu dibuka, gadis itu kerap kali menemani ayahnya ke tempat penambangan itu. Hingga gadis itu tertarik pada seorang pekerja tambang batubara tersebut. Gadis bernama Ningsih itu telah terpikat oleh pesona pria yang selalu diperhatikannya di tambang batu bara yang baru mulai dirintis di daerah lembah segar dan memiliki nilai budaya tersendiri. Di tempat itu, terdapat beragam orang dari suku budaya yang berbeda. Karena masing-masing orang rantai yang bekerja di lubang tambang itu, berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Keseharian Ningsih hanya menemani ayahnya ke tempat penambangan, menatap lelaki itu dan pulang tanpa sempat berbicara sepatah kata pun pada pujuaan hatinya.
            Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Ningsih, sehingga mambuatnya malu untuk memulai bercakap-cakap dengan pria yang dicintainya. Dia cantik, bahkan sangat cantik. Bisa dikatakan bahwa Ningsih adalah gadis yang paling cantik di Swahlunto pada masa itu. Namun, yang menjadi kendala adalah posisinya sebagai anak seorang bangsawan. Dia takut kalau-kalau pria yang dicintainya itu diperlakukan buruk oleh ayahnya, setelah ayahnya tahu bahwa dia dan pria itu memiliki kedekatan tersendiri. Tetapi cinta Ningsih telah mencapai puncaknya, dengan memberanikan diri Ningsih mencoba menyapa pria itu untuk pertama kalinya.
            “Assalamualaikum saudara.” Sapa Ningsih siang itu.
            “Ya, selamat siang” Jawab si pria.
            “Mengapa saudara malah tidak menjawab salam saya?” Ningsih merasa heran dengan jawaban pria itu.
            “ Maaf, saya nonmuslim” Ujuar lelaki itu kemudia tersenyum.
            “oh, tidak apa-apa, saya Ningsih,” Ujar Ningsih memperkenalkan dirinya.
            “Ya, saya tahu. Siapa yang tidak tahu dengan anda. Anda anak seorang bangsawan, dan gadis yang paling cantik di daerah ini. Beruntung rasana saya dapat mengenal anda.” Ujar pria itu menyanjung Ningsih dengan logat jawanya.
            Ningsih terpaksa mengakhiri percakapannya kerena ayahnya sudah hendak pulang. Namun Ningsih setidaknya sudah tahu, pria itu bernama Raden. Kisah cinta mempesona  yang diharapkan Ningsih tidak akan pernah terjadi. Ayahnya mengetahui kedekatannya dengan Raden. Hingga suatu malam di dalam lubang tambang yang menjadi saksi cinta Ningsih, juga harus menjadi saksi bisu kehancuran hidup Nungsih.
            “Akan ku bunuh koe binatang.” Tukas ayah Ningsih dengan suara yang murka.
            Ningsih hanya bisa terus menangis dengan tubuh yang tidak berdaya karena ditahan dua opsir Belanda yang perkasa.
            “Sampean kira sampean pantas trisno karok anakku, sampeam tu mbok yo nyadar, sampean ndak lebih dari anjing kompeni.” Itulah kalimat terakhir yang didegar Ningsih dari ayahnya, hingga kemudian sebuah peluru opsir Belanda mendarat di mata Raden. Raden tewas seketika, sedangkan Ningsih hanya bisa menangis, karena tidak mampu berbuat apa-apa selain memandangi mayat Raden yang dibuang ke dalam sebuah lorong di lubang itu.
            Semenjak kejadian itu, Ningsih menghilang. Tidak ada seorang pun yang tahu kemana dirinya. Ningsih lenyap dari daerah itu, semenjak kematian orang yang dicintainya, akhir desember 1898.
            Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Tidak ada lagi orang rantai yang dipaksa untuk menggali lubang tambang. Meski banyak yang pada akhirnya, menjadikan kegiatan penambangan batubara dan gas alam itu sebagai ladang pencarian nafkah, tetapi setidaknya mereka tidak lagi hidup macam binatang.
            Kalender telah menunjukan tahun 1992, kota Sawahlunto yang dulunya merupakan tempat pembuangan pemberontak di Batavia (Jakarta) dan dijadikan penammbang batubara, sekarang telah mulai merintis hidup segagai kota tambang yang layak untuk masyarakatnya. Di dalam sebuah bus kota menuju Sawahlunto dari rute Padang, seorang gadis cantik kira-kira berusia 18 tahun, sedang asik membaca buku di kursi paling pojok bus itu. Sesekali matanya tertuju pada seorang pengamen yang tengah asik bernyanyi. Sekejap mata, pintu bus itu terbuka. Pengamen yang sedang bersandar ke pintu itu terjatuh. Tubuhnya terhempas ke jalan raya yang cukup ramai, tertabrak mobil-mobil lain yang ada di belakang bus, hingga akhirnya terlempar ke pinggir jalan.  Perjalanan ke kota Sawahlunto tertunda, semua orang mengerumni mayat pengamen yang malang. Semua terkejut dengan keanehan di depan matanya. Tubuh yang hancur itu tidak ada darah sedikit pun, benar-benar aneh. Sedangkan pusat kota sawahlunto masih 7 km dari tempat kecelakaan itu.
            Sungguh sangat aneh, wajah gadis tu semakin cantik setelah keelakaan tadi. Bahkan yang lebih anehnya, dalam hitungan detik, dia sudah berada di pusat kota Sawahlunto, yang dikelilingi bukit yang tinggi, kemudian berada di depan Lubang Tambang Basuro yang telah ditutup dengan beton karena tidak lagi dioperasikan untuk kegiatan penambangan batubara seperti tahun 1898 ketika dia masih di Sawahlunto dahulu.
            Dialah Ningsih, yang dulu pernah pergi dari kota ini setelah kematian kekasihnya dan kini kembali untuk mengenang cintanya. Setiap pagi, Ningsih hadir di depan lubang tambang itu dan menghilang ketika malam hari. Tidak ada yang peduli pada kagiatannya, semua orang hanya terpesona pada kecantikanya. Ningsih hanya diam membisu, tanpa memperdulikan orang-orang yang terpukau olehnya.
            “Selamat siang?” Sebuah suara menegur dari arah belakangnya ketika dia sedang bisu memandangi lubang itu.
            Ningsih menoleh kebelakang dengan senyumannya yang menawan. Pria itu balas tersenyum pada Ningsih.
            “Kamu tampak sangat tertarik dengan lubang tambang itu.” Lelaki itu memulai percakapan.
            “Ia, saya sangat tertarik pada lubang ini. Lubang ini memiliki nilai sejarah tersendiri, tentunya pernah ada cerita cinta di dalamnya.” Tukas Ningsih lembut.
            “Ya, mungkin saja,” Pria itu tersenyum “Tidak ada yang tahu jalan hidup yang ditakdirkan Tuhan.” Ujar pria itu.
            Ningsih baru menyadari, pria itu sangat mirip denga Raden. Kemiripan itu semakin jelas, ketika Ningsih melihat sebuah kalung salip di lehernya. Kalung itu mirip kalung Raden. Ini artinya, Ningsih telah menemukan titisan Raden, dan Ningsih tidak akan pernah melepaskan pria itu. Pria itu baginya adalah jelmaan Raden. Jelmaan pria yang terus dicintainya hingga saat ini.
            Ningsih mulai dekat dengan pria itu, yang akhirnya diketahui bernama Reno. Namun, sebenarnya Reno telah memiliki kekasih, kekasih yang tidak akan pernah dibiarkan hidup oleh Ningsih.
            “Eh, ke tu jangan keganjenan ya. Reno tu milik aku.” Tukas kekasih Reno dengan nada yang penuh amarah.
            “Apa peduli saya, saya rasa dia lebih cocok dengan saya.” Ujar Ningsih seraya membelakangi kekasih Reno yang ternama Lia.
            “Dasar wanita hina. Ke hadir di sini, cuma buat merusak hubungan orang. Apa ndak ada yang lain yang bikin ati ke kepincet,” Bentak Lia dalam logat bahasa Sawahlunto.
            Lubang tambang itu kembali mendi saksi bisu pertengakaran dua gadis yang sesungguhnya berbeda generasi itu.
            “Saya sudah lama menunggu masa-masa ini. Masa bersatu dengan kang mas Raden.” Ujar Nigsih datar.
            “Tapi dia ndak Raden ke, dia Reno aku. Lagian siapa Raden yang ke sebut-sebut itu?” Tukas Lia dengan keheranan.
            “Raden adalah lelaki yang saya cintai  semenjak tahun 1898 sampai sekarang. Sejak awal lubang tambang ini digali. Kamu tidak mengerti, Reno adalah jelmaan Raden, itu artinya dia milikiku.” Tukas Ningsih dengan amarah dan di sauti kilatan halilintar malam itu.
            Suasana menjadi mencekamkan. Lia tidak mengerti siapa yang berada di hadapannya dekarang. Dengan penuh kemurkaan, Ningsih mencekik Lia, membenturkan kepala Lia ke  dinding lubang tambang itu. Membelah tubuh Lia menjadi bagian-bagian kecil. Namun, keanehan lagi yang ada pada diri Ningsih, setiap orang yang mati di dekatnya, mati tanpa darah setetespun.
            Ningsih tertawa puas melihat mayat perempuan yang menjadi musuh dalam cerita cintanya.
            “Kamu tahu, andai dulu saya mampu, akan saya buat ayah dan opsir Belanda yang membuh Raden, menjadi kepingan daging cincang spertimu.” Setelah berkata demikian, Ningsih meremas bagian mata Lia yang digenggamnya.
            “Setan!”
            Sebuah hardikan mengejutkan Ningsih dari arah belakangnya. Dengan tegas Ningsih menoleh ke belakang. Matanya membelalak ketika dilihatnya sosok Reno telah berdiri di hadapannya.
            “Reno, tidak seharusnya kamu di sini sayang. Seharusnya kamu menunggu saya di rumah. Dan kita menjalani bahtera rumahtangga dengan bahagia dan nyaman. Tanpa ada lagi yang memisahkan kita.” Ujar Ningsih seolah tanpa rasa bersalah.
            “Kau apakan gadis yang ku cintai, kau apakan dia. Aku hanya menganggap kau sebagai teman. Tidak lebih!” Ujar Reno dengan air mata di pipinya.
 “Siapa Raden, apa hungannya dengan aku, dan seharusnya kau sudah mati. Sudah terlalu lama kau hidup, kau setan!” Ujar Reno dengan suara bergetar. Reno terus berjalan mundur ketika Ningsih terus berjalan mendekatinya.
            “Berhenti” Pekikan Reno memekak kan lubang itu.
            “Raden, ini saya. Saya Ningsih, kamu lupa? Kita kekasih. saya mencintaimu dari pertama bertemu, hingga hari ini. Kau pun begitukan sayang?” Ningsih terus mendekati Reno.
            “Tidak, aku bukan Reden mu. Ini bukan masa mu, kenapa kamu masih hidup dan merajalela sbagai gadis? Kenapa kau tidak menjadi tua, atau apalah.” Setelah berujar demikian Reno terjatuh karena tersandung batu.
            Ningsih tiba-tiba berhenti “Saya memakai susuk, ini untuk keabadian kecantikan saya. Demi kamu juga Raden. Agar kamu dapat melihat saya disini, karenna sudah lama saya yakin, Tuhan kamu dan Tuhan saya akan menciptakan titisanmu.” Kemudian Ningsih tersenyum.
            Senyuman Ningsih menambah ketakutan di hati Reno. Reno berusaha berlari, namun kakinya seperti tertahan setuatu.
            “Meski saya haru berselubung dalam kekuatan ilmu hitam, yang mengharuskan saya menghisap darah setiap korban,  semuanya untuk kekuatan dan keawetan saya, itu tidak masalah bagi saya Raden, sekarang saya telah bertemu kamu.” Tawa ningsih menggema di dalam lubang itu.
            Tiba-tiba, sebuah angin kencang menerpa mereka. Sesosok bayang putih berada di hadapan mereka. Sosok itu sangat mirip dengan Raden. Ningsih hanya diam melihat bayangan itu.
            “Ningsih gadisku, akulah Raden. Dia bukan siapa-siapa dalam diriku. Dia tidak ada hubungannya dengan cinta kita. Dan aku tidak sanggup melihat kamu terus membunuh demi keawetanmu Ningsih. Ikutlah bersamaku” ujar bayang putih itu.
            Ningsih tiba-tiba meraung. Serupa raungan ketika Reden ditembak beberapa puluh tahun yang lalu. Berkali-kali Ningsih menusuk tubuhnya, hamburan darah hitam mengalir di lantai terowongan itu. Darah setiap orang yang telah mati karenanya. Dia mencongkel matanya sendiri, dan memberikan pada Reno
 “ Ini menganti mata kekasihmu yang telah hancur tadi” Ujar ningsih dengan senyuman di bibirnya “ Saya telah menemukan kekasih saya lagi. Kamu boleh pergi Reno.”
            Reno mengibaskan tangan Ningsih yang menggenggam matanya sendiri. Reno berlari ke luar sumampunya. Hingga akhirnya Reno sampai di mulut lubang tambang itu. Dari arah luar Reno mendengar tawa sepasang kekasih yang akhirnyanya bersatu, tiba-tiba gerbang lubang tambang itu kembali tertutup beton, karena memang sebenarnya lubang itu telah ditutup beton semenjak tahun 1932. Namun dengan kekuatannya, Ningsih kembali terbuka untuk kejadian malam itu.
            Reno kembali ke rumahnya, setengah jiwanya telah rusak karena kejadian yang diluar logikanya. Bagaimana mungkin ada orang yang hidup muda selama puluhan tahun. Reno memang selamat, namun dia telah gila. Dia tidak tahu harus mengatakan apa pada semua orang.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar