Selasa, 17 Maret 2015

cerpen Tak Ada Cahaya Untuk Lalai



Tak Ada Cahaya Untuk Lalai
Nella N. Saputri

          Yaza menyadari, untuk beberapa hal dia telah lalai. Bahkan Yaza juga sadar bahwa dia nyaris memasuki tingkatan wanita sombong. Namun kesadaranya umpama hampir terlambat, telah lebih satu semester dia bersikap begitu. Pertanyaannya, apakah masih ada waktu untuk dia memperbaiki yang buruk dan telah berlalu.
          Malu, itu kata yang setiap malam mengahantui dan merasuki. Menyesal, itu kata yang mungkin tak dapat terobati jika terasa. Yaza hanya bungkam, diam seribu bahasa, menitikan air mata,  dan terpaku di pojok kamarnya yang sunyi. Kadang dia tersenyum, namun tiba-tiba dia tertunduk dalam tangisannya. Yaza teringat akan titik peluh dan darah yang dikeluarkan orang tuanya, hanya untuk menguliahkanya di kota ini.
          “Telah lama aku terpesona, telah lama aku lalai. Ya Allah, hari ini aku baru menyadari dan menyesalinya. Sungguh hina aku ini, aku sempat angkuh dengan milik-Mu Allah.” Gumam Yaza dengan matanya yang sembab.
          Yaza berusaha mengenang masa awal ketika dia beranjak dari desanya ke kota ini. Dilihatnya wajah ibu dan ayahnya yang tersenyum bahagia dan bangga. Wajah yang penuh harapan, bila suatu saat anaknya dapat menjadi sesuatu yang membanggakan. Berharap agar anaknya tak lagi diremehkan, keluarganya tidak lagi dikucilkan, apalagi sampai dihina seperti sekarang. Itu memang masih menjadi harapan, namun wajah-wajah tua dan ringkih itu benar-benar berbinar karenanya.
          “Nak, bila suatu saat nantik, kamu mampu menjadi apa yang kami harapkan, apa yang akan kamu lakukan?” Tanya ayah yang rapuh itu.
          “Aku akan peluk ibu, ayah, dan biarkan rasa kita menjadi satu.” Jawab Yaza yakin.
         
          Kenangan itu berlayar dalam samudra bayangan Yaza. Hingga akhirnya kenangan itu berlabuh di antara air merah penuh darah dari cerita bajak laut. Umpamanya darah itu kisah pedih dalam perjalanan hidup Yaza.
          Yaza ingat, ketika dia berjalan tanpa peduli pada sekitar. Yaza juga masih teringat masa ketika dia bersikap meremehkan hanya karena sesaat dia pernah merasa keberhasilan. Hingga akhirnya dia terjatuh kepusaran air yang kelam. Dia hanyut dalam penyesalan. Namun, tak hanya dia yang bisa disalahkan. Yaza bisa dikatakan menjadi korban, setelah ternyata dia telah salah memilih teman. Teman-teman yang angkuh.
          Kelalaian itu juga karena pengaruh dari bujuk rayu orang yang dipikirnya kini ibarat setan yang berkelana. Mungkin memang sedikit hina, tapi memang predikat itu yang pantas untuk teman-temannya. Teman membelokannya ke lembah keangkuhan, pusaran kelalaian, yang berakhir pada muara penyesalan.
          Sangat lunglai Yaza berjalan menelusuri jalan yang kelam itu, keluar dari kamar kos-kosannya yang pernah cerah dengan harapan yang menggelora. Dulu memang indah, tapi kini tidak lagi. Sekarang kemana dia pergi?. Dia hanya akan menelusuri malam, meski dia takut kelam. Menyesali apa yang dilakukannya, kelalaian yang berjibaku dengan keangkuhannya.
          “Hai,” sapa Yaza ketika berjumpa dengan seorang teman kuliahmya.
          Namun wanita itu hanya berlalu pergi dan tidak memperdulikan Yaza. Wanita itu bersikap seolah tidak peduli hanya untuk balas dendam pada Yaza, karena selama ini Yaza selalu diam ketika wanita itu menyapa. Sekarang posisinya satu sama, itu pikir wanita itu.
          “kamu akan menerima balas dari apa yang kamu perbuat selama ini nak,” suara tua mengejutkan Yaza. Dia menoleh ke belakang, benar ada di sana seorang wanita tua, kriput dan ringkih. Kepalanya dipenuhi warna putih yang terurai rapuh, tubuhnya tak lagi tegab, namun bengkok pada bagian pinggangnya. Membengkok kedepan, seolah memberi salam kepada orang yang dijumpainya.
          “ku tahu nek, tanpa harus diberi tahu.” Ujar Yaza datar.
          “Tapi kamu menyepelekan sebuah panggilan hatimu, kamu bukan murni sejahat itu. Kamu hanya jahat, karena telalu lama berteman dengan orang yang jahat.” Nenek itupun berlalu pergi.
          Dalam pikirannya Yaza menganggap nenek itu terlalu bersikap seperti paranormal handal. Paranormal yang serba tahu semuanya, bahkan isi hati orang-orang yang dijumpainya. Namun nenek tua itu tidak mengatakan bahwa Yaza hanya akan hidup dalam kelam, berarti masih ada harapan.
          Yaza mamandang dengan matanya yang tertutup, tampak olehnya cahaya yang sangat terang, terang, dan semakin terang. Yaza mengayunkan kakinya menuju cahaya itu. Dia merasakan sedikit rasa yang hampa, kemudian sekuat tenaga berlari ke awal mempesona. Aaaaaaaaaaaaa, lepas.
          Apa ini akhirnya?. Happy ending kah?.
          Tidak!. Perjalanan hidup Yaza tidak mulus dalam cahaya itu. Tak seperti yang telah dibayangkan. Yaza sakit teman, dia sakit jiwa dan raganya. Cinta, persahabatan, dan karirnya sulit tuk dijadikan indah. Untungnya masih ada keluarga yang dapat dibanggakan, meski ada sedikit yang rusak dalam kisahnya.
          Hanya duduk di kursi itu, menatap kearah luar rumah dari jendela yang telah lama berdebu. Benar-benar hanya tatapan yang kosong. Air mata mengalir deras di pipinya, lucukah hingga dia tertawa mamandang bayangannya di kaca sudut rumah itu.
          Wanita paruh baya di dekatnya hanya mampu diam. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan pada Yaza, karena yaza tak akan pernah mampu memahaminya. Yaza terlalu galau saat ini, melebihi kegalauan wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu. Beberapa kisah yang tidak kuat diterimanya telah berada di sisi kehidupannya. Setelah melewati cahaya yang dipikir adalah indah, Yaza harus berjuang dengan makian dan keputusasaan. Hingga akhirnya jadi begini, Yaza tidak lagi mampu menahan beban pengharapan. Bagi Yaza semua harapan itu telah menjadi ribuan ton ketakutan. Takut bila akhirnya tidak mampu berakhir pada pencapaian.
          Dunianya benar-benar telah menjebak, menjebak Yaza dalam kebingungan. Berada di dalam rumah hanya untuk diam semenjak setahun yang lalu. Masih saja tetap buram. Pertanyaannya dimana mereka yang telah membuat Yaza begini?, mereka yang telah membawa yaza dalam dunia keangkuhan, dan berlabuh di alam kelalaian. Menetap pada cerita keburaman, karena terlalu lama dan membuat semua berantakan. Ibarat pecah telah berkeping dan nihil untuk dikembalikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar