Tak Ada
Cahaya Untuk Lalai
Nella N. Saputri
Yaza
menyadari, untuk beberapa hal dia telah lalai. Bahkan Yaza juga sadar bahwa dia
nyaris memasuki tingkatan wanita sombong. Namun kesadaranya umpama hampir
terlambat, telah lebih satu semester dia bersikap begitu. Pertanyaannya, apakah masih
ada waktu untuk dia memperbaiki yang buruk dan telah berlalu.
Malu,
itu kata yang setiap malam mengahantui dan merasuki. Menyesal, itu kata yang
mungkin tak dapat terobati jika terasa. Yaza hanya bungkam, diam seribu bahasa, menitikan air mata, dan
terpaku di pojok kamarnya yang sunyi. Kadang dia tersenyum, namun tiba-tiba dia
tertunduk dalam tangisannya. Yaza teringat akan titik peluh dan darah yang
dikeluarkan orang tuanya,
hanya untuk menguliahkanya di kota ini.
“Telah
lama aku terpesona, telah lama aku lalai. Ya Allah, hari ini aku baru menyadari
dan menyesalinya. Sungguh hina aku ini, aku sempat angkuh dengan milik-Mu
Allah.” Gumam Yaza dengan matanya yang sembab.
Yaza
berusaha mengenang masa awal ketika dia beranjak dari desanya ke kota ini.
Dilihatnya wajah ibu dan ayahnya yang tersenyum bahagia dan bangga. Wajah yang
penuh harapan, bila suatu saat anaknya dapat menjadi sesuatu yang membanggakan.
Berharap agar anaknya tak lagi diremehkan, keluarganya tidak lagi dikucilkan, apalagi sampai dihina seperti sekarang.
Itu memang masih menjadi harapan, namun wajah-wajah tua dan ringkih itu
benar-benar berbinar karenanya.
“Nak,
bila suatu saat nantik, kamu mampu menjadi apa yang kami harapkan, apa yang
akan kamu lakukan?” Tanya ayah yang rapuh itu.
“Aku
akan peluk ibu, ayah, dan biarkan rasa kita menjadi satu.” Jawab Yaza yakin.
Kenangan
itu berlayar dalam samudra bayangan Yaza. Hingga akhirnya kenangan itu berlabuh
di antara air merah penuh darah dari cerita bajak laut. Umpamanya darah itu
kisah pedih dalam perjalanan hidup Yaza.
Yaza
ingat, ketika dia berjalan tanpa peduli pada
sekitar. Yaza juga masih teringat masa ketika dia bersikap meremehkan hanya
karena sesaat dia pernah merasa keberhasilan. Hingga akhirnya dia terjatuh
kepusaran air yang kelam. Dia hanyut dalam penyesalan. Namun, tak hanya dia
yang bisa disalahkan. Yaza bisa dikatakan menjadi korban, setelah ternyata dia
telah salah memilih teman. Teman-teman
yang angkuh.
Kelalaian
itu juga karena pengaruh dari bujuk rayu orang yang dipikirnya kini ibarat
setan yang berkelana. Mungkin memang sedikit hina, tapi memang predikat itu
yang pantas untuk teman-temannya. Teman membelokannya
ke lembah keangkuhan, pusaran kelalaian, yang berakhir pada muara penyesalan.
Sangat lunglai Yaza berjalan menelusuri jalan yang
kelam itu, keluar dari kamar kos-kosannya
yang pernah cerah dengan harapan yang menggelora. Dulu memang indah, tapi kini
tidak lagi. Sekarang kemana dia pergi?. Dia hanya akan menelusuri malam, meski
dia takut kelam. Menyesali apa yang dilakukannya, kelalaian yang berjibaku
dengan keangkuhannya.
“Hai,”
sapa Yaza ketika berjumpa dengan
seorang teman kuliahmya.
Namun
wanita itu hanya berlalu pergi dan tidak memperdulikan Yaza. Wanita itu
bersikap seolah tidak peduli hanya untuk balas dendam pada Yaza, karena selama
ini Yaza selalu diam ketika wanita itu menyapa. Sekarang posisinya satu sama,
itu pikir wanita itu.
“kamu
akan menerima balas dari apa yang kamu perbuat selama ini nak,” suara tua
mengejutkan Yaza. Dia menoleh ke belakang, benar ada di sana seorang wanita
tua, kriput dan ringkih. Kepalanya dipenuhi warna putih yang terurai rapuh, tubuhnya tak lagi tegab, namun bengkok pada
bagian pinggangnya. Membengkok kedepan, seolah memberi salam kepada orang yang
dijumpainya.
“ku
tahu nek, tanpa harus diberi tahu.” Ujar Yaza datar.
“Tapi
kamu menyepelekan sebuah
panggilan hatimu, kamu bukan murni sejahat itu. Kamu hanya jahat, karena telalu
lama berteman dengan orang yang jahat.” Nenek itupun berlalu pergi.
Dalam
pikirannya Yaza menganggap nenek itu terlalu bersikap seperti paranormal handal. Paranormal yang serba tahu
semuanya, bahkan isi hati orang-orang
yang dijumpainya. Namun nenek tua itu tidak mengatakan bahwa Yaza
hanya akan hidup dalam
kelam, berarti masih ada harapan.
Yaza
mamandang dengan matanya yang tertutup, tampak olehnya cahaya yang sangat
terang, terang, dan semakin terang. Yaza mengayunkan kakinya menuju cahaya itu.
Dia merasakan sedikit rasa yang hampa, kemudian sekuat tenaga berlari ke awal
mempesona. Aaaaaaaaaaaaa, lepas.
Apa
ini akhirnya?. Happy ending kah?.
Tidak!.
Perjalanan hidup Yaza tidak mulus dalam cahaya itu. Tak seperti yang telah
dibayangkan. Yaza sakit teman, dia sakit jiwa dan raganya. Cinta, persahabatan,
dan karirnya sulit tuk dijadikan indah. Untungnya masih ada keluarga yang dapat
dibanggakan, meski ada sedikit yang rusak dalam kisahnya.
Hanya
duduk di kursi itu, menatap kearah luar rumah dari jendela yang telah lama
berdebu. Benar-benar hanya tatapan yang kosong. Air mata mengalir deras di
pipinya, lucukah hingga dia tertawa mamandang bayangannya di kaca sudut rumah
itu.
Wanita
paruh baya di dekatnya hanya mampu diam. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan
pada Yaza, karena yaza tak akan pernah mampu memahaminya. Yaza terlalu galau saat
ini, melebihi kegalauan wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu.
Beberapa kisah yang tidak kuat diterimanya telah berada di sisi kehidupannya.
Setelah melewati cahaya yang dipikir adalah indah, Yaza harus berjuang dengan
makian dan keputusasaan. Hingga
akhirnya jadi begini, Yaza tidak lagi mampu menahan beban pengharapan. Bagi
Yaza semua harapan itu telah menjadi ribuan ton ketakutan. Takut bila akhirnya
tidak mampu berakhir pada pencapaian.
Dunianya
benar-benar telah menjebak, menjebak Yaza dalam kebingungan. Berada di dalam
rumah hanya untuk diam semenjak setahun yang lalu. Masih saja tetap buram.
Pertanyaannya dimana mereka yang telah
membuat Yaza begini?, mereka yang telah membawa yaza dalam dunia keangkuhan,
dan berlabuh di
alam kelalaian. Menetap pada cerita keburaman, karena terlalu lama dan membuat
semua berantakan. Ibarat pecah telah berkeping dan nihil untuk dikembalikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar