Senin, 16 Maret 2015

Cererpen Gelap



GELAP
Nella N. Saputri

Dalam beberapa hal, aku ingin mencoba menjadi yang terindah. Aku selalu ­­­ingin menjadi kebanggaan orang-orang yang ku sayangi. Namun semua itu hanya harapan, karena tidak mungkin aku mampu menjadi lebih dari diriku sekarang. Tidak akan pernah mungkin menjadi seseorang yang membanggakan.
Bukannya aku pesimis, tapi aku hanya berusaha menerima kenyataan. Kampus inipun seolah menjadi neraka bagiku, karena aku beku dalam kediamanku, diantara orang-orang yang mempunyai mimpi yang menggebu. Hari ini, menjadi saksi betapa bisunya aku, aku diam diantara ramai merajalela. Entah kenapa aku bisa ada di sini. Owh, ruang ini terasa hampa.
          “Permisi.” Ku dengar sebuah suara dari arah belakang ku.
          Perlahan ku memandang kearah suara itu, oh Tuhan, dia tersenyum. Mungkin perasaan ku sedikit berlebihan, tapi tidak salah kan kalau aku, orang yang yang selalu diabaikan, sangat terkejut ketika mendapat senyum yang ramah dari seseorang?. Kalian tahu, senyum itu sangat berarti bagi ku.
          “Hallo, permisi,” orang itu mengulangi lagi. Aku berdiri dan segera pergi dari bangku itu. Perasaan ku kacau, antara bahagia dan tidak percaya. Mungkin kalian menganggap aku aneh, tapi inilah aku. Aku yang terlupakan
Huf, perkuliahan ku diundur sejam lagi. Aku paling tidak suka keadaan seperti ini. Mungkin bagi sebagian orang ini kabar baik, karena mereka dapat bercengkrama, bercanda, atau bahkan berfoto-foto. Namun, aku tidak punya siapapun yang dapat ku ajak bicara. Banyak orang yang menganggap aku aneh, aku pun menyadari itu. Aku dengan baju yang berwarna gelap, rambut yang terurai lepas menutupi punggung ku, tatapan ku yang sayu dihiasi lingkaran hitam disekelilingnya, itu membuat orang-orang enggan berdekatan dengan ku.
Bukannya aku tidak mau memakai warna yang beragam, bila aku memakai baju yang cerah, tubuhku akan panas kerenanya, bukannya aku tidah mau memakai  produk yang dapat menghilangkan lingkaran hitam di mata, karena itu abadi dan tidak mungkin hilang. Bahkan aku tidak mungkin hidup seperti manusia umumnya, tahu kenapa?, karena kurasa  aku bukan manusia seutuhnya.
Aku rasa, aku telah menghabiskan waktu sekitar sejam untuk duduk merenung di lobi ini, dan sekarang waktunya aku masuk kelas. Hari ini akan seperti biasa, aku masuk keruangan itu, duduk dipojok, dan berdiam diri hingga perkuliahan usai. Aku baru sadar, disebelahku duduk lelaki yang menegurku tadi.
“Jangan kabur lagi, aku bukan monster,” ujar lalaki itu dan tersenyum, ketika aku tampak mulai risih.
Selama perkuliahan aku mencuri-curi pandang kearahya. Penilaianku adalah “sempurna”.
Perkuliahan usai, aku segara keluar dari ruang itu. Namun tidak bisa, tanganku digenggam erat oleh lelaki itu. Aku menatap marah padanya, tapi dia tidak peduli. Ruangan telah kosong, hanya tinggal kami berdua. Aku terus menatap tajam kearahnya, tiba-tiba dia pingsan. Aku berlari semampuku, lari sejauh mungkin dari keadaan itu. Aku merasa bersalah, tadi benar-benar diluar kesadaranku. Aku melakukan sesuatu yang seharusnya tidak aku lakukan. Aku mengeluarkan semua aura kebencianku, aku yakin, itu sangat menyakitkan baginya.
Di rumahku yang kelam, sunyi dan orang bilang seram. Aku hidup dengan nenekku yang mungkin punya banyak cerita buram. Dari semua kisah nenek, aku hanya tahu pasti, dia telah lama hidup dengan diam.
          “Nenek, tadi tanpa sengaja, Tera melukai orang.” Ungkapku pada nenek tua yang sepanjang hari hanya duduk di depan jendela tuanya. Tiba-tiba dia memandang tajam kearah ku.
          “Sudah ku bilang, jangan macam-macam dengan kutukan itu.” Suaranya tersengar tegar dibalik getaran napasnya.
          “maaf nek, tapi aku tadi benar-benar takut dan kesakitan. Dia menggenggam tanganku. Lihat, pergelanganku masih berwarna hitam, seolah hangus terbakar.” Aku memperlihatkan tanganku pada nenek tua ku. “Kapan semua ini akan berakhir, aku tidak ingin mati dalam keadanku.”
          “Tidak akan berhenti dan jangan berharap kan berhenti. Ini takdir dan ini tidak akan dapat berubah.” Ujar nenek dengan nada yang mulai melemah. “Ibu dan ayahmu mati karena ini, dan kamu telah digariskan untuk kutukan ini.”
          “Tapi apa salah ku?, aku bahkan tidak tahu apa-apa dengan keadaan ini. Kalian yang buat aku begini. Aku tidak pernah berharap lahir sebagai siluman, dan aku tidah pernah berharap kalau aku adalah setan. Aku muak, apa aku?kenapa kamu diam orang tua?” aku mulai menghardik dan megobrak abrik ruangan itu.
          Aku melihat tetesan air mata dipipinya yang rapuh.
 “Baiklah, aku akan katakan kamu apa. Meski bayarannya adalah kematianku. Kamu manusia, namun di dalam tubuhmu ada iblis, pikiranmu adalah kegelapan, auramu bahkan akan jadi maut bagi orang yang bertatapan denganmu. Karena itu takdirmu, takdir yang ada untukmu dari lehuhur kita. Karena orang tuamu membunuh banyak orang, dan menjadikan tubuh orang itu sebagai praktek sihir mereka.”
Aku tertunduk di sudut ruangan yang penuh dengan kekelaman itu. Nenekku tampak sangat letih, napasnya mulai sesak, dan dia terjatuh dari kursinya. Dia tampak kesakitan, akupun berlari kearahnya.
“Nenek kenapa?, apa yang sakit.”
“Semua telah berakhir untuk nenek nak, nenek telah melanggar laranggan. Sebenarnya nenek dilarang memberitahukan semua itu padamu, jika nenek beritahu  nenek akan mati. sekarang kamu harus berjuang sendiri, ingat, jangan pernah mencintai, jika kamu tidak mau orang itu pergi.”
Gelap, aku kehilangan satu-satunya yang kumiliki dan semua ini salah ku. Tidak seharusnya ku memaksa dia bercerita. Sepintas aku teringat lelaki di kelas itu, bagaimana keadaannya. Perasaanku benar-benar galau, aku tidak ingin ada yang celaka lagi. Kulihat diluar hujan, kutatap tubuh nenekku yang kaku, sejenak aku berpikir, hingga akhirnya aku berlari.
Aku berusaha untuk lari secapatnya, menuju tempat lelaki yang kutinggalkan tadi. Sesampainya di depan ruangan itu, aku yang basah kuyup berjalan perlahan kesana, terbujur kaku dengan wajar yang membiru. Dia mati, aku yakin itu.
Mungkin memang gila, aku menggendongnya kerumahku. Entah dari mana aku mendapatkan kekuatan itu, yang ku tahu sekarang mayatnya telah ku dampingkan dengan mayat nenek ku. Memilukan, kutukan ini telah membunuh dua orang yang peduli padaku. Merekalah nenek dan lelaki yang tersenyum padaku. Mungkin lelaki ingin berteman denganku, tapi auraku tidak terkendali, sehingga aku membuat dia pergi.
Selama aku hidup, aku akan begini terus, dan akan semakin banyak yang tersakiti. Kutulis cerita ini, hingga kemudian kuputuskan nadi, mungkin nanti akan sedikit perih, tapi tak apalah. Bila ini terjadi, sedih ku tidak akan terasa lagi. Selamat tinggal air mata, selamat tinggal amarah. Aku pergi, tapi jangan katakan pada siapapun.  
“BERJANJILAH, JANGAN TERIAKAN KEPERGIAN INI”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar