Oleh Nella N. Saputri
Ketika
aku terjaga dari tidurku, rasa sakitku masih dalam terasa. Pikirku masih
merajalela tentang penghianatan sahabatku. Bahkan kekacauanku hanya karena dia.
Dia dan kesekian kalinya dia, dia yang menyaktiku, dia yang menghianatiku, dia
yang menjebakku. Bagiku dia tak lebih dari suatu kutukan yang merajai bayang-bayangku.
“Sandi,
lekas mandi. Sudah jam berapa ini, seharusnya kamu sudah berangkat ke sekolah
setengah jam lagi.” Suara merdu ibuku membuyarkan kebencianku.
Dengan
spontan aku segera mandi dan berkemas secara instan. Namun, tetap saja itu
tidak terlalu membantu, aku tetap akan terlambat. Tidak mungkin dalam waktu
setengah jam aku dapat menyelesaikan semuanya. Memang benar, pukul 8 aku baru
sampai di sekolah, benar-benar kacau, aku tidak diperbolehkan masuk mata
pelajaran pertama hari ini. Lama aku merenung di kamar mandi setelah
melaksanakan hukumanku. Sekali lagi penghianatannya menghantuiku. Menyesal,
mengapa aku berteman dengannya. Bodoh sekali aku ini!.
“Hai
San,” tegur seseorang dari belakangku. Aku tahu itu suara siapa, karena suara
itu aku pun benci. Huh, Lukman. Tidak sadarkah dia telah berbuat kesalahan
padaku. Aku hanya menoleh padanya dan tersenyum kecut.
“Gimana
hasil ulangan kemarin, aman kan?” tanyanya padaku. Tidakkah dia sadar kalau
kemarin dia telah melakukan kesalahan padaku?.
“Hancur,
aku salah yang nomor 5,” jawabku pelan.
“Oh,
aku betul loh,” ujar Lukman bangga.
Apa
peduliku, aku tidak akan memujinya!. Aku salah karena dia, dia yang membuyarkan
pikiranku. Dia yang menghianatiku. Awas ya Lukman, selamanya aku akan
membencimu. Dasar penghianat, tak tahu malu, sesalku berteman dengan kamu,
beberapa ungkapan keji mempesona dalam pikiranku.
Sebagai
lelaki aku selalu berusaha menepati semua janji dan aku selalu memegang
kata-kataku. Tapi dia, sama sekali tidak seperti laki-laki sejati. Awalnya dia
menyerobot pacarku, nah sekarang dia kacaukan nilaiku. Tapi tidak terlalu
masalah bagiku kalau memang aku tidak mendapat nilai sempurna, yang aku
permasalahkan, awalnya aku berpendapat pada sebuah pertanyaan saat ujian,
kemudian dengan berbisik aku diskusikan dengan dia, sesuai hasil diskusi kami
sepakat untuk tidak menggunakan jawaban yang aku pikirkan, karena itu kurang
tepat. Tapi ternyata ketika sudah dikumpul, akhirnya kami tahu kalau jawaban
yang benar adalah apa yang aku kemukakan tadi. Aku sedikit menyesal telah tidak
percaya diri, tapi tak apalah, toh teman ku juga salah. Tapi sangat
menyakitkan, ternyata dengan santai sahabatku berkata “Yiha, aku benar”. Huh,
bagaimana dia membuat apa yang telah kami sepakati salah, yang dia tulis pada
lembar jawabannya adalah piiranku.
Benci,
dengan lunglai dan berantakan ku masuki ruangan kelasku setelah hukumanku usai.
Bagi teman-teman di kelas itu sudah hal yang biasa, karena bukan Sandi kalau
tidak begitu.
“Kemarin
Lea kerumah aku San.” Ungkap seorang wanita yang duduk di belakangku. Dia lah
Mirah, sahabat mantanku.
Aku
menggerutu, apa urusanku dengan wanita yang selefel dengan Lukman itu.
“Dia
nangis,” sambung Mirah kerena melihatku tidak meresponya.
“Kenapa?”
tanyaku dengan cuek. Sedikitpun aku tidak kasihan pada wanita itu.
“Dia
diputuskan Lukman, Lukman selingkuh dengan Reisya”
“oh,”
ujarku datar.
Pikiranku
menari-nari dan meneriakan kebahagiaan, akhirnya orang yang menyakitiku
merasakan sakit yang ku rasa. Tapi tidak mungkin aku mengeluarkan ekspresi itu
ke dalam dunia nyata ku, tidak lucukan?.
Sejenak
aku memandang keseluruh kelas, wajah-wajah remaja yang ku tatap. Masih lugu dan
penuh warna, sampai akhirnya ketika Lukman datang, suasana bagiku berubah jadi
kelam. Tidak lebih sebagai calon penghianat bangsa, pikirku pun menuju pada
koruptor di negeriku. Lucu, terbayang olehku wajah Lukman menyengir padaku,
dengan jasnya yang kusam dan memegang koper berisi uang. Aku lihat dalam
bayanganku perutnya semakin membuncit, wah, cepat meletus, doaku pada Tuhanku.
Beberapa
saat aku tidak lagi bertegur sapa dengan Lukman, aku juga tidak peduli dengan
status jomlo yang disandang Lea. Aku sibuk dengan teman-teman baruku yang
ternyata lebih baik, aku sedikit menyesal, mengapa tidak dari dulu saja aku
berteman dengan mereka. Mereka tidak pernah memanfaatkanku, mereka selalu ada
bersamaku, mereka juga tidak membuatku jadi sosok yang angkuh dan sok beken.
Sebulan
kemudian menjelang Ujian Nasional, Lukman datang menghampiriku.
“Buat apa sih San kamu malah berteman
dengan orang-orang yang nggak beken seperti mereka. Kamu mau kehilangan
pamorya?, akhir-akhir ini kamu juga jarang gabung sama teman-teman di kelas
sebelah. Kelas ini nggak asik bro.”
“Setidaknya
mereka tidak menghianatiku, tidak memanfaatkanku, dan tidak jadi benalu dalam
hidupku,”
Setelah
mengungkapkan kata-kata mutiaraku, aku berjalan dengan santai meninggalkan dia
yang malah mengerutu seolah tidak pernah tahu salahnya. Jauh lebih baik begini,
aku berteman dengan orang-orang yang memang menganggap aku teman, bukan kacung.
Lukman
hanya akan jadi Lukman, dengan keangkuhan dan keegoisannya, dia tetap tanpa
perubahannya. Sekarang aku lihat dia sangat akrap dengan dengan teman ku yang
lain, hahaha, aku tertawa, Lukman ada korban berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar