Kamis, 26 Maret 2015

Cerpen Sahabat Palsu





Oleh Nella N. Saputri


          Ketika aku terjaga dari tidurku, rasa sakitku masih dalam terasa. Pikirku masih merajalela tentang penghianatan sahabatku. Bahkan kekacauanku hanya karena dia. Dia dan kesekian kalinya dia, dia yang menyaktiku, dia yang menghianatiku, dia yang menjebakku. Bagiku dia tak lebih dari suatu kutukan yang merajai bayang-bayangku.
          “Sandi, lekas mandi. Sudah jam berapa ini, seharusnya kamu sudah berangkat ke sekolah setengah jam lagi.” Suara merdu ibuku membuyarkan kebencianku.
          Dengan spontan aku segera mandi dan berkemas secara instan. Namun, tetap saja itu tidak terlalu membantu, aku tetap akan terlambat. Tidak mungkin dalam waktu setengah jam aku dapat menyelesaikan semuanya. Memang benar, pukul 8 aku baru sampai di sekolah, benar-benar kacau, aku tidak diperbolehkan masuk mata pelajaran pertama hari ini. Lama aku merenung di kamar mandi setelah melaksanakan hukumanku. Sekali lagi penghianatannya menghantuiku. Menyesal, mengapa aku berteman dengannya. Bodoh sekali aku ini!.
          “Hai San,” tegur seseorang dari belakangku. Aku tahu itu suara siapa, karena suara itu aku pun benci. Huh, Lukman. Tidak sadarkah dia telah berbuat kesalahan padaku. Aku hanya menoleh padanya dan tersenyum kecut.
          “Gimana hasil ulangan kemarin, aman kan?” tanyanya padaku. Tidakkah dia sadar kalau kemarin dia telah melakukan kesalahan padaku?.
          “Hancur, aku salah yang nomor 5,” jawabku pelan.
          “Oh, aku betul loh,” ujar Lukman bangga.
          Apa peduliku, aku tidak akan memujinya!. Aku salah karena dia, dia yang membuyarkan pikiranku. Dia yang menghianatiku. Awas ya Lukman, selamanya aku akan membencimu. Dasar penghianat, tak tahu malu, sesalku berteman dengan kamu, beberapa ungkapan keji mempesona dalam pikiranku.
          Sebagai lelaki aku selalu berusaha menepati semua janji dan aku selalu memegang kata-kataku. Tapi dia, sama sekali tidak seperti laki-laki sejati. Awalnya dia menyerobot pacarku, nah sekarang dia kacaukan nilaiku. Tapi tidak terlalu masalah bagiku kalau memang aku tidak mendapat nilai sempurna, yang aku permasalahkan, awalnya aku berpendapat pada sebuah pertanyaan saat ujian, kemudian dengan berbisik aku diskusikan dengan dia, sesuai hasil diskusi kami sepakat untuk tidak menggunakan jawaban yang aku pikirkan, karena itu kurang tepat. Tapi ternyata ketika sudah dikumpul, akhirnya kami tahu kalau jawaban yang benar adalah apa yang aku kemukakan tadi. Aku sedikit menyesal telah tidak percaya diri, tapi tak apalah, toh teman ku juga salah. Tapi sangat menyakitkan, ternyata dengan santai sahabatku berkata “Yiha, aku benar”. Huh, bagaimana dia membuat apa yang telah kami sepakati salah, yang dia tulis pada lembar jawabannya adalah piiranku.
          Benci, dengan lunglai dan berantakan ku masuki ruangan kelasku setelah hukumanku usai. Bagi teman-teman di kelas itu sudah hal yang biasa, karena bukan Sandi kalau tidak begitu.
          “Kemarin Lea kerumah aku San.” Ungkap seorang wanita yang duduk di belakangku. Dia lah Mirah, sahabat mantanku.
          Aku menggerutu, apa urusanku dengan wanita yang selefel dengan Lukman itu.
          “Dia nangis,” sambung Mirah kerena melihatku tidak meresponya.
          “Kenapa?” tanyaku dengan cuek. Sedikitpun aku tidak kasihan pada wanita itu.
          “Dia diputuskan Lukman, Lukman selingkuh dengan Reisya”
          “oh,” ujarku datar.
          Pikiranku menari-nari dan meneriakan kebahagiaan, akhirnya orang yang menyakitiku merasakan sakit yang ku rasa. Tapi tidak mungkin aku mengeluarkan ekspresi itu ke dalam dunia nyata ku, tidak lucukan?.
          Sejenak aku memandang keseluruh kelas, wajah-wajah remaja yang ku tatap. Masih lugu dan penuh warna, sampai akhirnya ketika Lukman datang, suasana bagiku berubah jadi kelam. Tidak lebih sebagai calon penghianat bangsa, pikirku pun menuju pada koruptor di negeriku. Lucu, terbayang olehku wajah Lukman menyengir padaku, dengan jasnya yang kusam dan memegang koper berisi uang. Aku lihat dalam bayanganku perutnya semakin membuncit, wah, cepat meletus, doaku pada Tuhanku.
          Beberapa saat aku tidak lagi bertegur sapa dengan Lukman, aku juga tidak peduli dengan status jomlo yang disandang Lea. Aku sibuk dengan teman-teman baruku yang ternyata lebih baik, aku sedikit menyesal, mengapa tidak dari dulu saja aku berteman dengan mereka. Mereka tidak pernah memanfaatkanku, mereka selalu ada bersamaku, mereka juga tidak membuatku jadi sosok yang angkuh dan sok beken.
          Sebulan kemudian menjelang Ujian Nasional, Lukman datang menghampiriku.
          “Buat apa sih San kamu malah berteman dengan orang-orang yang nggak beken seperti mereka. Kamu mau kehilangan pamorya?, akhir-akhir ini kamu juga jarang gabung sama teman-teman di kelas sebelah. Kelas ini nggak asik bro.”
          “Setidaknya mereka tidak menghianatiku, tidak memanfaatkanku, dan tidak jadi benalu dalam hidupku,”
          Setelah mengungkapkan kata-kata mutiaraku, aku berjalan dengan santai meninggalkan dia yang malah mengerutu seolah tidak pernah tahu salahnya. Jauh lebih baik begini, aku berteman dengan orang-orang yang memang menganggap aku teman, bukan kacung.
          Lukman hanya akan jadi Lukman, dengan keangkuhan dan keegoisannya, dia tetap tanpa perubahannya. Sekarang aku lihat dia sangat akrap dengan dengan teman ku yang lain, hahaha, aku tertawa, Lukman ada korban berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar